Headlines News :
Home » » HADIST TENTANG JUJUR SEBAGAI PRASYARAT ILMIAH DAN PAHALA AMALIAH

HADIST TENTANG JUJUR SEBAGAI PRASYARAT ILMIAH DAN PAHALA AMALIAH

Written By Figur Pasha on Tuesday, March 26, 2013 | 9:44 AM

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ الرَّحِيم

I.                   PENDAHULUAN
Sebagai makhluk sosial, tentunya setiap harinya manusia berinteraksi dengan sesama manusia, entah itu sesama jenis atau lawan jenis. Dalam interaksi itu pastinya manusia melakukan perbincangan atau semacam komunikasi, tetapi dalam komunikasi itu tidak selamanya selalu sejalan, terkadang ada satu hal yang membuat kejanggalan bahkan bisa menimbulkan ketidak seimbangan dalam interaksi sosial tersebut, yaitu ketika salah satu dari manusia melakukan suatu kebohongan atau ketidakjujuran. Padahal jujur itu merupakan hal yang penting dalam sebuah komunikasi, karena dari kejujuran itu awal mula timbulnya kepercayaan dari satu dengan yang lain, kemudian dari kepercayaan itu akan timbul keharmonisan atau keserasian dalam berinteraksi antar sesama.
Mungkin istilah jujur ini tidak asing lagi ditelinga kita, mengingat istilah ini sering kita gunakan dalam keseharian kita. Jujur itu sendiri adalah sebuah kata yang telah dikenal oleh hampir semua orang. Bagi yang telah mengenal kata jujur mungkin sudah tahu apa itu arti atau makna dari kata jujur tersebut. Namun masih banyak yang tidak tahu sama sekali ataupun  ada juga yang hanya sekedar tahu maknanya secara samar-samar, bahkan banyak yang mengatakan “jujur itu hancur/ajur”. Ungkapan seperti itu sekarang ini mulai merambah di kalangan dunia keilmuan. Padahal kejujuran merupakan prasyarat penting dalam kegiatan akademik yang bisa membawa kepada pahala amaliah.
Oleh karena itu, dalam makalah ini kami mencoba memberikan sedikit pemahaman tentang hakikat kejujuran sebagai prasyarat ilmiah dan pahala amaliah. Meliputi: hadis yang berkaitan tentang jujur, makna, hakikat, keutamaan, dan pembagian jujur, serta pengaruh sifat jujur dan dusta.

II.                PEMBAHASAN
A.    Hadis Yang Berkaitan Tentang Jujur
عن عبدالله بن مسـعودٍ قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلّم : عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإنَّ الصِّدْقَ يَهْدِى إلىَ الْبِرِّ وإنَّ البِرَّ يَهْدِى إلى الجَنَّةِ وَمَايَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَاللهِ صِدِّيْقاً. وَإيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإنَّ الكَذِبَ يَهْدِى إلى الفُجُوْرِ وَإنَّ الفُجُوْرَ يَهْدِى إلى النَّارِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيتَحَرَّى الكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَاللهِ كَذَّاباً (رواه ومسلم)
Artinya: “Dari Abdullah bin Mas’ud, dia berkata : Rasulullah saw, beliau bersabda: “Kamu harus bersifat jujur, karena sesungguhnya jujur itu membawa kebaikan dan kebaikan itu membawa ke Surga, seseorang akan selalu jujur dan membiasakannya (dalam segala ihwalnya) hingga dicatat oleh Allah sebagai orang yang benar-benar jujur. Jauhilah sifat dusta, karena dusta itu membawa kepada penyelewengan, dan penyelewengan itu membawa ke neraka, seseorang akan selalu  berdusta dan membiasakannya hingga dicatat oleh Allah sebagai orang yang benar-benar dusta”. (H.R. Muslim)
Lafadz يَهْدِى mempunyai arti petunjuk yang menyampaikan kepada sesuatu yang dicari (البِرَّ). Sedangkan lafadz البِرَّ berarti taat kepada Allah swt. Menurut Imam al-Hafidz meluas terhadap semua perbuatan baik, arti ini mutlak atas amal yang murni dan tetap. Dan وإنَّ البِرَّ يَهْدِى إلى الجَنَّةِ  sesuai dengan al-Qur’an ان الابرار لفى نعيم  (QS. Al-Muthaffifiin/83: 22). Adapun وَمَايَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ  berarti تكرر (berulang-ulang) melakukannya, hingga berhak atas gelar benar-benar jujur (حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَاللهِ صِدِّيْقاً).
Lafadz الفُجُوْر bentuk jamak dari الفجر berarti celah dalam beragama, ini mutlak atas penyelewengan yang menimbulkan kerusakan dan cekatan dalam maksiat. Sedangkan lafadz  وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيتَحَرَّى الكَذِبَ berarti di dalam hatinya terdapat setitik noda hitam yang lama-lama menjadikan hatinya benar-benar hitam gelap. Akhirnya ia mendapat predikat benar-benar dusta di sisi Allah swt.[1]
Rasulullah saw. memilih kalimat يهدى (menunjuki), subhanallah! seolah-olah kejujuran itu menarik kita ke Surga, sebagaimana dusta itu menarik tangan, tetapi membawa kita ke Neraka. Beliau juga memilih kataالفجُور  (penyelewengan) karena kata tersebut mencakup segala bentuk kejahatan.[2]
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو أَنَّ رَجُلًا جَاءَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا عَمَلُ الْجَنَّةِ قَالَ الصِّدْقُ وَإِذَا صَدَقَ الْعَبْدُ بَرَّ وَإِذَا بَرَّ آمَنَ وَإِذَا آمَنَ دَخَلَ الْجَنَّةَ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا عَمَلُ النَّارِ قَالَ الْكَذِبُ إِذَا كَذَبَ الْعَبْدُ فَجَرَ وَإِذَا فَجَرَ كَفَرَ وَإِذَا كَفَرَ دَخَلَ يَعْنِي النَّار (رواه احمد)
Artinya: “Dari Abdillah bin ‘Amr, sesungguhnya seorang laki-laki datang kepada Rasulullah saw., dia berkata : amal surga itu apa? Rasulullah bersabda : jujur. Jika seorang hamba jujur maka ia baik, jika ia baik maka ia beriman, dan jika ia beriman maka masuk surga. Laki-laki berkata : wahai Rasullah, amal neraka itu apa? Beliau bersabda : dusta. Jika seorang hamba berdusta maka ia menyeleweng, jika ia menyeleweng maka ia kufur, dan jika ia kufur maka masuk neraka. (H.R. Ahmad)
(Amal surga) yaitu amal ahli surga atau amal yang menyampaikan ke surga (adalah jujur, ketika seorang hamba jujur maka baik, ketika ia baik maka ia beriman, dan ketika ia beriman maka masuk surga. Dan amal neraka adalah dusta, ketika seorang hamba berdusta maka ia menyeleweng, ketika ia menyeleweng maka ia kufur, dan ketika ia kufur maka ia masuk neraka) yaitu neraka jahanam. Maksud hadis ini yaitu anjuran atas wajibnya jujur dan menjauhi dusta. Jujur itu terpuji dan dusta itu tercela baik secara akal maupun syariat.[3]
عَنْ أَبِي الْحَوْرَاءِ السَّعْدِيِّ قَالَ قُلْتُ لِلْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ مَا حَفِظْتَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ حَفِظْتُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيبُكَ فَإِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِينَةٌ وَإِنَّ الْكَذِبَ رِيبَةٌ (رواه الترمدى)
Artinya:“Dari Abu Hawra’i al-Sa’diyyi, dia berkata : saya berkata kepada Hasan bin Ali : Apa yang kamu hafal dari Rasulullah saw. Ia berkata : “Saya menghafal beberapa kalimat dari Rasulllah yaitu: “Tinggalkanlah apa yang membuatmu ragu kepada apa yang tidak membuatmu ragu, sesungguhnya jujur itu menimbulkan ketenangan dan dusta itu membawa kebimbangan”. (H.R. Tirmidzi).
(Sesungguhnya jujur itu menimbulkan ketenangan) yaitu ketenangan dan ketentraman hati, didalamnya tersimpan sesuatu yaitu tempat dan sebab tuma’ninah, (dan sesungguhnya dusta itu membawa membawa kebimbangan) yaitu kerisauan dan kekacauan hati.[4]
Dalam hadis ini sudah jelas bahwa jika kita ingin memiliki hati yang tenang dan tentram, maka jujurlah dalam segala hal dan tinggalkanlah sifat dusta, karena konsekuensi logis dari perbuatan dusta yaitu bisa membawa kerisauan dan kekacauan hati.
B.     Makna, Hakikat, Keutamaan, dan Pembagian Jujur Sebagai Prasyarat Ilmiah serta Pahala Amaliah
Kata ash-shiddiq (kejujuran) menurut Islam digunakan dalam enam makna, yaitu:[5]
1.      Jujur dalam perkataan
Kejujuran dalam pemberitaan atau hal-hal yang berkaitan dengan pemberitaan. Setiap hamba wajib menjaga perkataannya dan hanya berkata dengan jujur, karena dengan lisan adalah jenis jujur yang paling masyhur dan tampak. Seperti halnya di bidang akademik, seorang akademisi harus berkata jujur dalam menyampaikan ilmu.
2.      Jujur dalam niat dan kemauan
Kejujuran seperti ini dapat dikembalikan kepada makana ikhlas, yaitu orang yang motivasinya dalam segala aktivitas hanya Allah swt. Bila seorang hamba mencampur amalnya dengan bagian-bagian hawa nafsu maka niatnya rusak.
3.      Jujur dalam tekad
Manusia biasanya senang memasang tekad untuk melakukan amal tertentu. Contohnya, dia berkata kepada dirinya sendiri, “Jika Allah swt menganugerahkan kekayaan kepada saya maka saya akan bersedekah, baik dengan seluruh harta itu atau sebagiannya”, atau, “Jika saya bertemu dengan musuh ketika berjihad di jalan Allah swt, maka akan saya perangi meskipun saya terbunuh karenanya”. Di antara tekad-tekad ini ada yang benar-benar lahir dari lubuk hati dan inilah yang dinamakan tekad yang jujur, namun ada pula yang ketika mengucapkannya terdapat semacam keraguan dan perasaan tidak yakin sehingga merusak kesempurnaan kejujuran tekad tersebut. Dari hal ini dapat dilihat bahwa kejujuran merupakan ungkapan yang melambangkan kesempurnaan dan kekokohan dalam tekad itu.
4.      Jujur dalam menepati tekad yang dibuat
Seseorang terkadang dapat mudah melontarkan tekad tertentu karena memang tidak sulit mengucapkannya. Akan tetapi, sulitnya menepati tekad itu baru terasa ketika yang menjadi tekad itu benar-benar terwujud atau dorongan hawa nafsu mulai ikut mengacau. Pada saat itu, tekad yang telah dibuat itu dapat melemah bahkan diingkari sendiri oleh pelakunya. Apabila hal ini terjadi maka menandakan bahwa orang tersebut tidak jujur dalam janji atau tekadnya. Keadaan mereka bertolak belakang dengan gambaran yang disebutkan Allah swt. dalam sebuah firman-Nya, “di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah...” (QS. al-Ahzab/33: 23)
5.      Jujur dalam amal
Bentuknya adalah upaya seseorang supaya antara tindakan-tindakan lahiriahnya tidak berbeda dengan apa yang ada di dalam batinnya. Bisa diartikan bahwa kondisi seseorang yang beramal sama, baik dalam keadaan sepi maupun ramai. Mutharraf berkata, “Jika keadaan seseorang hamba sama dalam keadaan sepi maupun ramai maka Allah berfirman, ‘inilah hamba-Ku yang sejati”.
Dalam dunia akademik, jujur dalam beramal sangat diperlukan. Misalnya dalam pembuatan karya ilmiah seperti makalah, skripsi, tesis, disertasi, dll., harus menghindari plagiasi dan semacamnya.
6.      Jujur dalam seluruh sifat yang dipandang baik (mulia) oleh agama
Ini merupakan tingkatan kejujuran yang paling tinggi, seperti dalam khauf (rasa takut), raja’ (harapan), zuhud, ridha, dan tawakal. Amal-amal ini berdasarkan namanya secara lahir memiliki beberapa dasar atau prinsip. Ia juga memiliki tujuan akhir dan hakikat. Karena orang jujur sejati adalah yang memperoleh hakikat-hakikat amal tersebut dan melewati titik lemah menuju titik yang kuat. Jika tidak demikian maka amal-amal ini tidak memiliki tujuan sehingga ia memperoleh semuanya secara sempurna.[6]
Perihal keutamaan sifat ini, Imam al-Ghazali berkata: “Dalam hal ini Allah swt telah berfirman:

Artinya: Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; Maka di antara mereka ada yang gugur. dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu- nunggu[7] dan mereka tidak merubah (janjinya). (QS. Al-Ahzab/33: 23).

Selain itu Rasulullah saw juga bersabda:
عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإنَّ الصِّدْقَ يَهْدِى إلىَ الْبِرِّ وإنَّ البِرَّ يَهْدِى إلى الجَنَّةِ وَمَايَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَاللهِ صِدِّيْقاً. وَإيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإنَّ الكَذِبَ يَهْدِى إلى الفُجُوْرِ وَإنَّ الفُجُوْرَ يَهْدِى إلى النَّارِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيتَحَرَّى الكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَاللهِ كَذَّاباً
Kamu harus bersifat jujur, karena sesungguhnya jujur itu membawa kebaikan dan kebaikan itu membawa ke Surga, seseorang akan selalu jujur dan membiasakannya (dalam segala ihwalnya) hingga dicatat oleh Allah sebagai orang yang benar-benar jujur. Jauhilah sifat dusta, karena dusta itu membawa kepada penyelewengan, dan penyelewengan itu membawa ke neraka, seseorang akan selalu  berdusta dan membiasakannya hingga dicatat oleh Allah sebagai orang yang benar-benar dusta. (H.R. Muslim)
Lebih dari itu, cukuplah bukti untuk menunjukkan keutamaan sifat jujur ini dengan melihat bahwa gelar ash-shiddiiq terambil dari kata ini”.
Sebagian ulama berkata: “Para ulama maupun fuqaha sepakat bahwa apabila pada diri seseorang terdapat tiga hal, maka dia akan selamat dunia akhirat. Ketiga hal yang masing-masing saling berkaitan dan melengkapi tersebut adalah keislaman yang bebas dari kotoran bid’ah maupun hawa nafsu, sikap jujur kepada Allah swt dalam beramal, serta hanya memakan makanan yang baik dan halal”.[8]
C.    Pengaruh Sifat Jujur dan Dusta
Rasulullah saw. telah menjelaskan bahwa kejujuran itu menunjukkan kepada yang baik, ibarat tempat tumbuhnya segala keutamaan dan keutamaan itu sebagai akar yang  menguatkan pohon itu tegak. Orang yang jujur itu tentu sejalan dengan semua kebaikan dan sebagai penegak segala kebagusan, sedangkan kebaikan itu adalah jalan menuju Surga, bahkan kebajikan itu sebagai kunci masuk Surga. Sebagaimana firman Allah:
   
Artinya: “Sesungguhnya orang yang berbakti itu benar-benar berada dalam kenikmatan yang besar (surga), mereka (duduk) di atas dipan-dipan sambil memandang. Kamu dapat mengetahui dari wajah mereka kesenangan mereka yang penuh kenikmatan. Mereka diberi minum dari khamar murni yang dilak (tempatnya), laknya adalah kesturi; dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba”. (QS. Al-Muthaffifiin/83: 22-26)

Barang siapa yang ingin supaya kejujuran itu menjadi kebiasaan dan akhlaknya, ingin menjadi agama dan tabiatnya, maka hendaknya dia mempunyai tujuan jujur dalam semua ucapan, dan jujur dalam semua perbuatannya. Jika kejujuran itu sudah menjadi karakternya, maka yang demikian dia menjadi orang yang paling jujur.
Dewasa ini sering kita jumpai sebuah ungkapan “Jujur itu hancur/ajur”. Hal ini tidak dapat dipungkiri bahwa ungkapan itu telah membudaya di kalangan masyarakat sehingga membentuk presepsi buruk tentang kejujuran. Menurut analisis kami, ungkapan itu tidak sesuai dengan hadis Nabi yang telah dipaparkan di depan, karena dalam hadis Nabi tidak dikatakan bahwa jujur itu membawa kehancuran seperti ungkapan orang-orang yang mengatakan bahwa “jujur itu hancur/ajur”. Melainkan jujur itu membawa kebaikan dan kebaikan itu membawa ke Surga.
Seperti halnya sifat jujur sebagai sendi dasar keutamaan, maka sifat dustapun sebagai sendi dasar segala kerendahan. Dengan sebab dusta, maka hancurlah pembinaan suatu masyarakat, terputus jalannya semua urusan dan jatuhlah nama dan martabat si pendusta itu di mata masyarakat. Karena mereka sudah tidak percaya lagi kepada kata-katanya dan tidak yakin terhadap amal perbuatannya, tidak menghendaki dia mempunyai kedudukan, bahkan mendengarpun enggan, kata-katanya dibuang begitu saja tidak didengar, persaksiannya tidak diterima. Oleh karena itu Rasulullah melarang berdusta.
Dalam al-Qur’an juga banyak ayat-ayat yang menjelek-jelekan sifat dusta, membencinya dan bahkan mengecamnya dengan siksa yang pedih. Ingat firman Allah:
Ÿ 
Artinya: “Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara Dusta "Ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah Tiadalah beruntung. (Itu adalah) kesenangan yang sedikit, dan bagi mereka azab yang pedih”. (QS. An-Nahl/16: 116-117)

Rasulullah saw telah menjelaskan, bahwa dusta itu membawa kepada durhaka, menimbulkan kejahatan dan merobek-robek selubung agama, dan apabila orang itu telah membiasakan berdusta, maka perangai itu akhirnya akan mendarah daging pada dirinya, sehingga jadilah orang itu sebagai pendusta, sehingga hilanglah kepercayaan masyarakat kepadanya.[9]
Rasulullah saw menerangkan juga bahwa perbuatan durhaka itu menunjukkan keada neraka dan mengancam pelakunya masuk neraka di tingkat yang paling bawah, sebagaiamana firman Allah:
¨bÎ)ur u$£Úàÿø9$# Å"s9 5OŠÏtrb ÇÊÍÈ   $pktXöqn=óÁtƒ tPöqtƒ ÈûïÏd9$# ÇÊÎÈ    
Artinya: “Dan Sesungguhnya orang-orang yang durhaka benar-benar berada dalam neraka Jahim. Mereka masuk ke dalamnya pada hari pembalasan.” (QS. Al-Infithar/82: 14-15).
Barang siapa membiarkan dirinya berdosa sekali dan disambung yang kedua kali bahkan diperkuat dengan yang ketiga kali lalu keempat dan terus berulang kali, sehingga dusta itu menjadi karakternya, maka jadilah dia pendusta yang hina. Oleh karena itu, jauhkanlah diri kita dari semua macam dusta, jika tidak, niscaya sifat dusta itu akan menjadi akhlak kita dan tabiat kita.


[1] Muhammad bin Allan, Dalilul Falihin, Juz 4, (Kairo: Mustofa al-Bani al-Halby, 1971), hlm. 380-381.
[2] Amru Khalid, Berakhlak Seindah Rasulullah, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra. 2007), hlm. 101.
[3] Muhammad Abdul Rauf Al-Manawy, Faidl Al-Qadir: Syarah Al-Jami’ Al-Shaghir, juz 4, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiah. 1994), hlm. 477.
[4] Muhammad Abdul Rauf Al-Manawy, Faidl Al-Qadir: Syarah Al-Jami’ Al-Shaghir, juz 3, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiah. 1994), hlm. 706.
[5] Sa’ad Riyadh, Jiwa Dalam Bimbingan Rasulullah saw, cet. 1, (Jakarta: Gema Insani. 2007), hlm. 138-140.
[6] Muhammad Shalih bin Ahmad Al-Ghurasi, Intisari Minhajul Qashidin: Panduan Meraih kenikmatan beribadah, (Solo: Aqwam. 2010), hlm. 23.
[7] Maksudnya menunggu apa yang telah Allah janjikan kepadanya.
[8] Sa’ad Riyadh, Jiwa Dalam Bimbingan Rasulullah saw, cet. 1, (Jakarta: Gema Insani. 2007), hlm. 137-138.
[9] Muhammad Abdul Aziz Al Khuli, Al Adabun Nabawi: Akhlak Rasulullah SAW., (Semarang: CV. Wicaksana. 1989), hlm. 248-250.
Share this article :

0 comments:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner

Random Post

 
Support : SMP N 1 Pecangaan | SMA N 1 Pecangaan | Universitas Islam Negeri Walisongo
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2013. Islamic Centre - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template