Headlines News :
Home » » HUKUM MENGAWINI WANITA YANG SEDANG HAMIL MENURUT ISLAM

HUKUM MENGAWINI WANITA YANG SEDANG HAMIL MENURUT ISLAM

Written By Figur Pasha on Monday, January 21, 2013 | 3:50 PM

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ الرَّحِيم

I.             PENDAHULUAN
Nikah hamil merupakan fenomena yang semakin marak di masyarakat akhir-akhir ini.Bahkan seolah-olah nikah hamil telah menjadi bagian dari budaya yang berkembang dalam masyarakat kita. Seandainya pada setiap perkawinan, Pegawai Pencatat Nikah mencatat pasangan yang nikah hamil, pasti akan diperoleh data yang dapat membuat kita tercengang. Prosentase perkawinan yang dicatat mungkin didominasi oleh nikah hamil. Namun yang menjadi persoalan adalah banyak orang di sekitar kita yang belum tahu tentang hukum nikah hamil itu sendiri, untuk itu dalam makalah ini kami akan mengungkap misteri dibalik nikah hamil dilihat dari kacamata islam.

II.          LANDASAN HUKUM
A.    Al-Qur’an

Artinya: “dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya”.(Q.S At-Thalaq: 4)


Artinya :”dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu Menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu Mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) Perkataan yang ma'ruf. dan janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis 'iddahnya. dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; Maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.(Q.S Al-Baqarah :235)
   
Artinya: “laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin”. (Q.S. An-Nuur;3)

B.     Al-Hadis
روي سعيد بن المسيب  أن رجلا تزوج امرأة فلما أصابها وجدها حبلى فرفع ذلك إلى النبي صلى الله عليه و سلم ففرق بينهما وجعل لها الصداق وجلدها مائة (أخرجه سعيد بن منصور والبيهقي)
Artinya: “diriwayatkan dari Sa’id bin Musayyib Sesungguhnya seorang leki-laki mengawini seorang wanita, ketika ia mencampurinyaia mendapatkannya dalam keadaan hamil, lalu dia laporkan kepada Nabi SAW. Kemudian Nabi menceraikan keduanya dan wanita itu diberi maskawin, kemudian wanita itu didera (dicambuk) sebanyak 100 kali.

عَنْ رُوَيْفِى بن ثَابِتْ رَضِيَ الله عَنهُ قالَ, قالَ رَسوْلُ الله صلي الله عليه وسلم لاَيَحِلُّ لاِمْرِئٍ يُؤْمِنُ بِاللهِ   وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلاَ يَسْقِ مَاءَهُ زَرْعَ غَيْرِهِ( اخرجه الترمذي وصححه ابن حبّان )
Artinya“dari Ruwaifi bin Sabit RA berkata, Rasululullah bersabda tidak halal lagi bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, menuangkan air bibitnya pada tanaman orang lain”.[1]

C.     Pandangan Ulama

( تَجِبُ عِدَّةٌ لِفُرُقِهِ زَوْجٍ حَيًّ ) بِطَلاَقٍ اَوْ فَسْحٍ بِنَحْوِ عَيْبٍ أَوْ اِنْفِسَاخٍ بِنَحْوِ لِعَانٍ ( وَطِئَ وَاِنْ تَيَقَّنَ بَرَأَةَ رَحِمٍ ) كَمَا فِيْ صَغِيْرَةِ الَّتِي لاَيُمْكِنُ وَطْؤُهَا وَالاَيِسَةِ وَكَمَا فِي الْمُعَلَّقِ طَلاَقُهَا عَلَى يَقِينِ البَرَاءَةِ فَاِذَا مَضَى عَلَيهَا بَعْدَ وَضْعِ الحَمْلِ سِتّةُ اَشْهُرٍ طُلَّقَتْ وَعَلَيهَا العِدَّةُ تَعَبُّدًا [2]
“ ‘Iddah itu wajib karena bercerai dengan suami yang masih hidup dan telah menyetubuhinya, baik perceraian karena talak, perusakan akad nikah disebabkan semisal adanya cacat, atau rusak karena semacam li’an. Meski telah diyakini bersihnya rahim dari janin, seperti wanita kecil yang belum disetubuhi, wanita yang telah menopaus, dan wanita yang talaknya dikaitkan atas keyakinan kebersihan rahimnya, maka setelah melahirkan dan melewati masa enam bulan wanita tersebut tertalak dan wajib ‘iddah karena murni menjalankan ajaran Allah (ta’abbudi)”.

III.       ANALISIS
Bahwasannya nikah hamil disini ialah nikah dengan seorang yang hamil karena ditinggal suaminya atau dicerai dan  menikahi seorang wanita yang hamil diluar nikah, baik yang menikahi laki-laki yang menghamili maupun bukan laki-laki yang menghamili.
Seorang wanita yang hamil karena ditinggal suaminya baik dicerai atau meininggal dunia, maka wanita tersebut tidak boleh dinikahi kerena harus menjalani ‘iddah sampai bayinya lahir. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat At-Thalaq ayat 4 “perempuan-perempuan yang hamil, waktu ‘iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungnnya”.
Kemudian bagaimana menikahi wanita hamil diluar nikah ? untuk masalah ini para fuqoha berbeda pendapat, diantaranya ialah :
a.    Mayoritas fuqoha berpendapat bahwa seorang wanita yang telah melakukan zina dan mereka lalu menikah satu sama lainnya, sedang si wanita tersebut tidak hamil dari perbuatnnya itu, maka pernikahan mereka boleh dan sah dalam hukum syari’at islam. Dasar atau dalil dari kebolehan/kehalalan pernikhan itu karena wanita yang bersangkutan tidak sedang terikat dalam suatu perkwinan, juga tidak sedang dalam masa iddah, sepanjang dia tidak termasuk dalm golongan wanita yang haram dinikahi yang termaktub dalam QS an nisa ayat 23
b.    Dalam kasus seorang wanita telah berbuat zina dan hamil dari perbutannya tersebut, kemudian ia menikah dengan laki-laki yang menghamili itu, maka mayorits fuqoha pun berpendapat boleh dan sah pernikahan mereka dalam hukum syari’at islam.
c.    Dalam kasus seorang wanita telah berbuat zina dan hamil karena perbuatannya, tetapi dia akan menikah  dengan laki-laki lain, dalam hal ini ada perbedaan pendapat dikalngan mazhab dan ulama islam. Mazhab abu Hanafi dan Syafi’i memandang dan berpendapat boleh pernikahan tersebut dilakukan , tetapi mereka tidak boleh melakukan hubungan khas suami istri, sampai bayinya lahir. Larangan ini seperti dalam hadis nabi.  “tidak halal lagi bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, menuangkan air bibitnya pada tanaman orang lain”. Dalam kasus wanita tersebut menikah bukan dengan pria yang telah berbuat zina itu, tetapi si wanita tidak sedang hamil,maka Imam Abu Hanifah dan Abu Yusuf pun berpendapat boleh atau halal pernikahan tersebut, dan tidak ada larangan apa-apa berkenaan dengan hubungan khas.[3]
d.   Adapun Imam Malik dan Ahmad bin Hambal serta Abu Yusuf dan Zhufar berpendapat bahwa tidak boleh atau tegasnya tidak sah akad nikah dilakukan, yakni manakala yang akan menikah dengan wanita yang bersangkutan adalah orang lain, bukanya yang berbuat dan menjadi penyebab kehamilan itu. Pendapat beliau itu berdasarkan firman Allah dalam surat An-Nur ayat 3, “laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin”.
e.    Ibnu Qudamah sependapat dengan Imam Abu Yusuf dan menambahkan bahwa seorang pria tidak boleh mengawini wanita yang diketahuinya telah berbuat zina dengan orang lain kecuali dengan dua syarat:
1)        Wanita tersebut telah melahirkan bila ia hamil, jadi dalam keadaan hamil tidak boleh dinikahkan.
2)        Wanita tersebut telah menjalani hukuman dera (cambuk), apakah ia hamil atau tidak.
f.     Imam Muhammad bin Al- Hasan Al- Syaibani mengatakan bahwa perkawinannya itu sah tetapi haram baginya bercampur, selama bayi yang dikandungnya belum lahir.[4]
Umumnya, kita boleh menikahkan wanita yang hamil dari zina karena tidak ada kehormatannya, kehamilan yang majhul (tidak diketahui penyebabnya, apa karena zina, wathi syubhat, atau hubungan yang sah) diasumsikan pada kehamilan sebab zina.[5]


[1]Masjfuk Zuhdi, Masa’il Fiqhiyah Kapita Selekta Hukum Islam, (Jakarta: Amzah, 2007), hlm. 145.
[2]Muhamad Nawawi bin Umar al-Jawi, Nihayah Al-Zain Syarah Qurrah al-Ain, (Beriut: Dar al-Fikr, [tpth]), hlm. 328.
[3]Sutan Marajo Nassarudin Latif, Ilmu Perkawinan: Problematika Seputar Keluarga dan Rumah Tangga, (Bandung : Pustaka Hidayah, 2001), hlm. 170-171.
[4]Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, ( Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 125-127.
[5]Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi’I Mengupas MAsalah Fiqhiyah Berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis, ( Jakarta : Almahira, 2010), hlm. 8.
Share this article :

0 comments:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner

Random Post

 
Support : SMP N 1 Pecangaan | SMA N 1 Pecangaan | Universitas Islam Negeri Walisongo
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2013. Islamic Centre - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template